KUCURAN KREDIT UMKM
DAN KENDALA AGUNAN
Oleh: Nina Kurnia Dewi
(Analis Penjaminan Kredit Perum SPU)
Minggu lalu ketika Gubernur Bank Indonesia, Burhanuddin Abdullah, mengunjungi Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) di Yogyakarta, disampaikan bahwa pangsa pasar UMKM yang saat ini telah dikerjakan oleh perbankan baru sekitar 30 persen. Belajar dari sejarah terutama di masa krisis beberapa tahun silam dan tuntutan penggairahan kegiatan ekonomi saat ini, maka UMKM merupakan pilihan terbaik untuk menjadi bagian dari strategi bisnis perbankan di Indonesia.
UMKM memiliki kekuatan yang tidak dimiliki oleh perusahaan-perusahaan besar. Pada masa sulit sekarang ini, UMKM cukup luwes menyikapi kenaikan BBM dan kenaikan harga faktor-faktor produksi lainnya. Dalam hal ini, walaupun dengan berat hati dan karena tidak ada pilihan lain, UMKM dapat “mudah” menurunkan margin keuntungannya dan menyesuaikan dengan berubahnya harga produksi. Selain itu, UMKM dapat menjadi mitra pemerintah dalam mengurangi tingginya angka pengangguran di tanah air. Dengan jumlah UMKM yang lebih dari 42 juta unit usaha di seluruh Indonesia saat ini, bila masing-masing menampung satu saja tenaga kerja baru, maka permasalahan pengangguran akan sangat terbantu. Hal lainnya, dengan kemampuan menghasilkan keuntungan rata-rata di atas 30 persen, UMKM merupakan aktor ekonomi tangguh yang memiliki potensi tinggi untuk dikembangkan lebih lanjut. Bila kemampuan tersebut diimbangi dengan pemanfaatan teknologi dan penerapan manajemen yang baik, UMKM dapat membantu pemerintah untuk menggerakkan sektor riil.
Perbankan yang merupakan sektor dengan regulasi yang ketat memiliki persepsi sendiri terhadap UMKM. Walaupun telah menjadi wacana umum bahwa UMKM memiliki banyak kelebihan dalam praktek bisnis, perbankan tetap merasakan kesulitan untuk dapat menjangkau UMKM sebagai sasaran kredit. Hal ini lebih karena terbatasnya informasi tentang kinerja dan kemamuan UMKM (credit/business record) selain terbatasnya jaringan pelayanan dan SDM perbankan. Secara teknis kesulitan perbankan untuk dapat menyalurkan kredit UMKM adalah karena tidak cukupnya agunan yang dimiliki UMKM tersebut. Lebih lanjut, peraturan Bank Indonesia yang mengharuskan bank mengenal setiap nasabahnya dengan baik (know your customer regulation), ketakutan akan munculnya kredit macet dan risiko bisnis lainnya, termasuk risiko reputasi profesionalisme para bankir, memang menjadikan kita maklum bila perbankan masih belum optimal dalam menggarap pangsa UMKM ini.
Sementara itu di sisi UMKM sendiri, perbankan dan lembaga pembiayaan lainnya masih dianggap sangat sulit diakses. Untuk dapat memperoleh kredit, sebagian pelaku UMKM berpendapat bahwa perbankan masih memiliki syarat yang mengikat dan prosedur yang tidak mudah. Walaupun di sisi lain fasilitas perkreditan telah banyak diberikan oleh perbankan, misalnya kemudahan memiliki kartu kredit atau akses kredit tanpa agunan, namun syarat adanya pendapatan tetap melalui penyerahan fotocopy slip gaji, tidaklah dimiliki para pengusaha UMKM ini. Akibatnya, perbankan saat ini lebih banyak memanjakan mereka yang berpenghasilan tetap dengan penyaluran kredit konsumtifnya. Sementara itu para pelaku UMKM dengan segala sifat tangguh yang ada padanya, hanya dapat berharap dan berdoa bagi adanya kucuran kredit bagi pengembangan usahanya.
Untuk mendapatkan kredit usaha, sebenarnya UMKM kita masih banyak yang terkendala pada agunan atau jaminan kredit. Dalam hal ini persyaratan agunan yang ditetapkan perbankan menjadi satu hal yang menakutkan, karena pelaku UMKM lebih banyak yang hanya memiliki semangat dan harapan dibandingkan modal. Untuk dapat mengakses kredit usaha produktif, selain kelayakan usaha, UMKM diwajibkan pula menyediakan agunan fisik bagi tambahan modal kerja atau pembiayaan investasi. Agunan kredit menjadi hal yang membuat para pengusaha UMKM enggan mengunjungi bank, terutama bila kebutuhan modal kerja sangat bersifat singkat, misalnya hanya untuk memenuhi pesanan yang sangat bersifat transaksional.
Dari dua kondisi sebagaimana di atas, ternyata agunan atau jaminan kredit adalah satu kendala yang sama yang dihadapi oleh UMKM dan perbankan, bahkan juga oleh lembaga lain penyedia kredit/pembiayaan. Agunan atau jaminan kredit dapat dikatakan sebagai faktor kunci yang saat ini bagi sebagian besar bank dan pelaku UMKM merupakan kendala pengucuran kredit bagi UMKM yang pada akhirnya merupakan kendala bagi bergeraknya sektor riil di tanah air.
Sebenarnya sejak orde lama, pemerintah kita telah memiliki skim penjaminan kredit yang dapat menjembatani kebutuhan pelaku UMKM dan perbankan. Karena tingginya risiko bisnis dan mulianya misi yang diemban, tugas penjaminan kredit yang diprakarsai pemerintah hanya dilaksanakan oleh lembaga berplat merah. Mungkin belum semua pengusaha UMKM dan perbankan mengenal Perum Sarana Penjaminan Usaha (dahulu Perum PKK) sebagai satu-satunya perusahaan penjamin kredit yang dibentuk pemerintah. Dalam prakteknya karena fungsi penjaminan kredit sangat dibutuhkan bagi bergeraknya sektor riil, maka perusahaan asuransi juga melayani jasa tersebut, seperti PT Askrindo dan PT ASEI dan munculnya lembaga swasta (PT PKPI). Namun demikian, perhatian pemerintah untuk pemberdayaan peran dan fungsi lembaga penjaminan kredit belum optimal. Gaung reformasi lebih banyak mengusik opini masyarakat dan penyelenggara negara untuk memberdayakan penjaminan simpanan melalui pembentukan LPS (Lembaga Penjaminan Simpanan) daripada memberdayakan lembaga penjaminan kredit yang saat ini sebenarnya sangat diperlukan.
Penjaminan kredit pada dasarnya merupakan salah satu solusi yang diperlukan UMKM guna mendapatkan fasilitas kredit dari perbankan. Pada intinya penjaminan kredit diperlukan sebagai pemenuhan persyaratan bank teknis bagi UMKM yang memiliki usaha dan berprospek baik, namun tidak cukup memiliki jaminan sehinga secara teknis tidak memenuhi syarat perkreditan dari bank. Dengan kata lain, penjaminan kredit merupakan jembatan bagi mereka yang feasible (layak usaha) namun belum bankable (layak kredit).
Kembali pada kunjungan kerja Gubernur BI ke UMKM di Yogyakarta, memang benar yang dikatakan beliau, bahwa penyaluran kredit kepada UMKM yang merupakan aktor tangguh ekonomi Indonesia saat ini, sepenuhnya merupakan pilihan bisnis bagi perbankan. Di sisi UMKM, Gubernur BI juga menghimbau agar para pengusaha UMKM jangan hanya datang ke bank untuk langsung mencari pinjaman, namun hendaknya pelaku UMKM memulai dengan menggunakan jasa-jasa bank terlebih dahulu untuk transaksi dan lalu lintas keuangannya, sehingga kinerja pengusaha dan bisnisnya dikenal oleh bank. Menjadi nasabah giro misalnya, paling tidak selama satu atau dua tahun akan menjadi informasi utama bagi bank untuk mengenal kinerja usaha dan karakter pengusaha UMKM. Dengan rekening yang aktif dan kinerja usaha yang baik serta kejujuran dan karakter nasabah UMKM yang dapat dipercaya, maka bank akan mudah mengambil keputusan dalam pemberian kredit.
Informasi tentang keberadaan lembaga penjamin kredit yang akan menjembatani dan memberikan solusi jaminan kredit sebagai pengganti agunan, perlu juga disosialisasikan kepada para pelaku UMKM dan perbankan terkait. Secara teknis penjaminan kredit berpihak pada UMKM untuk dapat merealisasikan kucuran kredit bagi pengembangan usahanya. Secara teknis pula, penjaminan kredit juga berpihak pada perbankan dalam mematuhi peraturan tentang kecukupan agunan kredit, yang juga berarti meningkatkan fungsi intermediasi perbankan bagi bergeraknya sektor ekonomi.
Penjaminan kredit dapat menjadi referensi perbankan untuk lebih banyak menggarap pangsa UMKM guna menggerakkan sektor rill dan hilangnya kendala agunan. Semoga.
No comments:
Post a Comment