Monday, April 12, 2010

Pembuktian Terbalik

Maraknya pemberitahuan tentang Gayus, seorang pegawai pajak dengan pangkat IIIA yang memiliki dana miliaran rupiah di rekening tabungannya dan kasus Centurygate yang saat ini juga belum jelas penyelesaiannya, cukup menarik tulisan berikut ini...

Dari Media Indonesia hari ini, 12 April 2010 ditulis oleh Ahmad Baedowi dalam rubrik Calak Edu.

Dari perspektif pendidikan, gambaran perih peruistiwa Gayus dan praktik korupsi lainnya merupakan pembuktian terbalik dari hasil proses pendidikan kita selama 40 tahun terakhir.  pendidikan kita seakan enggan untuk bertanggun jawab dan mengakui bahwa pola pikir dan perilaku para birokrat kita yang saat ini sedang berkuasa merupakan kegagalan proses pendidikan yang mereka terima selama bertahun-tahun di sekolah dan perguruan tinggi. Meski dalam semua lembar dokumen negara dirumuskan tujuan mulia pendidikan, pemerintah lalai dalam mengawal prosesnya secara baik sehingga ciri dan karakter manusia Indonesia menjadi sumir

Walhasil, jangan-jangan produk pendidikan kita semakin meneguhkan keyakinan bahwa ciri dan karakter mausia Indonesia masih saja seperti pernah dibilang Muchtar Lubis 33 tahun yang silam, yaitu selalu menggemari jalan pintas dan kurang gigih dalam berusaha.  Selain itu masih ada sepuluh ciri lain yang melekat dari manusia Indonesia menurut versi Muchtar Lubis, yaitu (1) munafik atau hipokrit, (2) suka lempar batu sembunyi tangan, (3) suka hantu, paranormal dan firasat, (4) punya jiwa seni, (5) boros, senang berutang dan senang pesta pora, (6) suka iri, dengki dan menggerutu, (7) me too, (8) jemawa, sombong atau belagu, (9) feodal dan patriarkal, serta (10) baik hati, ramah, suka gotong royong dan bisa tertawa dalam penderitaan.

Meski ciri dan karakter manusia Indonesia versi Muchtar Lubis terkesan berlebihan, fakta yang muncul di masyarakat seakan membenarkan bahwa itulah yang terjadi. Dunia politik kita dipenuhi orang-orang yang memiliki jiwa feodal dan patriarkal. Peara pendidik banyak yang munafik (hipokrit) karena antara apa yang diajarkan tak sesuai dengan apa yang dipraktikkan. Di sekolah, pendekatan pembelajaran lebih banyak berorientasi pada aspek competitive, sebuah budaya untuk mengalahkan dan menyisihkan orang lain sehingga menimbulkan banyak sekali labelling seperti murid pandai dan murid bodoh, kelas biasa dan kelas khusus, sekolah nasional dan sekolah internasional, serta atribut lain yang sungguh menyiksa perasaan siswa dan orang tua karena tingginya diskriminasi.

Karena itu wajar jika orang seperti Ivan Illich dan Paulo Freire menganggap proses pendidikan di sekolah tak ubahnya seperti ladang tempat para guru membunuh dan menindas potensi kemanusiaan siswa-siswi mereka. Dalam konteks ini, wajar jika sekarang kita disibukkan dengan rencana dan wacana untuk membuat model kurikulum pendidikan moral dan budi pekerti, agar orang-orang seperti Gayus kembali memiliki hati dan tidak memiliki kesempatan untuk kembali korupsi.

Sudah saatnya orientasi dan tujuan pembelajaran dalam dunia pendidikan kita dibuah revlousioner. Kesadaran mendidik harus lebih banyak memperhatikan suasana hati anak didik. Fakta tentang Gayus sungguh juga ingin menunjukkan keterikatan (engagement) secara psikologis atau emosional sesungguhnya merupakan persoalan mendasar dunia pendidikan kita. Guru kita lebih banyak memberi PR daripada memeluk, menciumi dan memuji siswanya di kelas. jangan sampai dugaan Paulo Frire benar, bahwa guru menganggap murid mereka sebagai tahanan (prisoners) atau pekerja (employees)  yang harus selalu ditekan untuk belajar, tetapi kita lali mendidik perasaannya.

No comments: